TERSENYUMLAH BERSAMAKU , TATAP MATAKU, KAMU AKAN TAU BETAPA AKU MENCINTAMU

Kamis, 29 Mei 2014

ZAKIYYAH



jika kau belah setetes air, ribuan samudra terdapat di sana,
jika kau layari ribuan samudra, tiada beda dengan sekolam saja,
gelora taufan badai dan samudera adalah gemulai tarian tetes air,
dingin dan senyap menyelam di kolam adalah hening samudra raya

orang mengatakan air  disimpan dalam kendi
betapa mungkin air disimpan dalam kendi, jika di dalam air tak ada kendi ?
orang mengatakan aku cinta padamu Zakiyyah
batapa mungkin berkata aku cinta Zakiyyah, bila bibir merahnya tak ada dalam diri?

seekor ikan yang ditangkap nelayankhidiri bak segenap ikan dalam samudra
sekeping uang yang dibawa Salmanfarisi bak kegemilangan tahta Sulaiman
sandal Ali yang dijahitnya sendiri adalah luka-luka seluruh kaki pejalan yang terseok
Fathimah kegemilangan kesucian Sang MahaWanita adalah diri Rasul sendiri, diri Rasul sendiri

maka orang arif tak mencari jaring raksasa dan kapal nelayan maha-raksasa
ia cukupkan dirinya dengan setusukan duri dan daging ikan, yang dibakar
di dalamnya ia dapatkan gurih segala ikan dan manis semua bidadari
yang menari-nari menyanyikan Yaa Syakuur, Yaa Jamiil, Yaa Mahanikmat


Bahari Ketunggalan




di anjang sana, di anjang sana, terbentang samudera ribuan bahari
para kelasi terbenam di sana, perahu juga, Bodhidarma sang pengelana mungkin juga
Tuhan tenggelam di palung bahari, di karangnya dan di buih gelembungnya
Khidir ,- airmata-Nya-, kesendirian-Nya,  menangis sendiri di dasar bahari
dar mashrab-i-Shuttar na bashad Fana,
Nist ba juz maani-i-inni Ana
dalam religi Shuttar, tak ada Fana
Tak ada apa-apa di dalamnya kecuali “ Aku adalah Aku”[1]

kau adalah Aku yang bertiraikan cadar-hehijaban dirimu
dan aku adalah Kau yang bersandaran tongkat rapuh ‘aku`
Qays, si Majnun, adalah Laila yang menyembunyikan merah pipinya dalam detak jantung lelaki tampan
Aku, Sang Kesadaran, adalah Tuhan yang memerah malu, Ia sembunyikan rona pipi-Nya di dalam Aku

Ia-lah Kesendirian Yang takkan dan takkan menikmati  Surya-cengkerama
tak pula bergurau, berkasih-mesra, berkicau ceria
Ia-lah Wangi perih Kesendirian, bak setangkai mawar tanpa daun
tak juga ranting, tidak pula batang bahkan onak dan duri





Yaa Nuuru Yaa Qudduusu




pagi hari membuat lampu tidak dibutuhkan lagi
purnama membuat lilin tidak diperlukan lagi
para filsuf membuktikan-Nya seolah Ia selalu bercadar lagi
bak pedagang yang menera anak timbangnya dengan  sekilo apel yang hendak ditimbangnya
para pengetam bebijian melihat isi dan sarimanis buah sebelum kulit, sebelum kulit
 para ahli samudera mengetahui kapal telah tenggelam, sebelum ombak, sebelum badai
demikianlah orang arif mengetahui ujung manis dedaunan, dari akarnya, dari akarnya
sebagaimana Duktur Sony Sang Perenung melihat cahaya Mentari, sebelum bayangan, bebayangan kesegalaan

orang - orang menikmati manis buah dan membuang kulitnya di padang kerontang
Majnun-Majnun menikmati lembut wajah dan kulit Layla , tak pula berani mengulitinya
orang-orang mengatakan kumelihat cahaya dari merah hingga ungu dengan mataku
Kaulah Cahaya yang tak terlihat , tapi Kaulah Cahaya yang melihat, bak kulit Layla yang tak patut dikuliti


Kekuatan Cinta




tak perlu kuresapi Dikau, karena Kau-lah Sang Maha Mawar nan meresap di pembuluh hidungku,
tak perlu kugapai-gapai Dikau, karena Kau-lah Sang Maha Dekat nan senantiasa memeluki pori tanganku,
tak perlu kuragukan Lagu-Mu, karena Kau-lah Sari Rebab nan senantiasa mempesona sukmaku,
dan tak pula Dendang-Mu, karena walau nyaring bunyinya remukkan Segala namun berdetakkan tulip-tulip asmara.

maka tatkala mereka bertanya rahasia takdir
kukatakan padanya Bibir-Nya Mencibir
pun kenapa mereka tak bertanya rahasia Anggur
  yang memabukkanku hingga mabuk tersungkur?