di
anjang sana, di anjang sana, terbentang samudera ribuan bahari
para
kelasi terbenam di sana, perahu juga, Bodhidarma sang pengelana mungkin juga
Tuhan
tenggelam di palung bahari, di karangnya dan di buih gelembungnya
Khidir
,- airmata-Nya-, kesendirian-Nya,
menangis sendiri di dasar bahari
dar
mashrab-i-Shuttar na bashad Fana,
Nist
ba juz maani-i-inni Ana
dalam
religi Shuttar, tak ada Fana
Tak
ada apa-apa di dalamnya kecuali “ Aku adalah Aku”[1]
kau
adalah Aku yang bertiraikan cadar-hehijaban dirimu
dan
aku adalah Kau yang bersandaran tongkat rapuh ‘aku`
Qays, si Majnun, adalah Laila yang
menyembunyikan merah pipinya dalam detak jantung lelaki tampan
Aku,
Sang Kesadaran, adalah Tuhan yang memerah malu, Ia sembunyikan rona pipi-Nya di
dalam Aku
Ia-lah
Kesendirian Yang takkan dan takkan menikmati
Surya-cengkerama
tak
pula bergurau, berkasih-mesra, berkicau ceria
Ia-lah
Wangi perih Kesendirian, bak setangkai mawar tanpa daun
tak
juga ranting, tidak pula batang bahkan onak dan duri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar